Tag Archives: muallaf

Perjalanan Domenyk Eades: Terpesona Gerakan Sujud

Standar

REPUBLIKA.CO.ID, Lewat sebuah strategi gerak cepat, pada 2 Agustus 1990, pasukan tentara Irak berhasil mencaplok Kuwait. Lima hari setelah invasi itu, Arab Saudi meminta bantuan kepada Amerika Serikat (AS). Invasi Irak ke negeri petrodolar itu pun melahirkan Perang Teluk ketika pasukan Paman Sam menggelar Operasi Badai Gurun pada 17 Januari 1991.

Perang Teluk telah membetot perhatian masyarakat dunia ketika itu. Tak terkecuali seorang remaja yang ketika itu berusia 17 tahun, Domenyk Eades. Pria yang tumbuh besar di Australia itu kerap menyaksikan dan membaca berita-berita tentang Perang Teluk dari media massa. Ketika mengikuti isu Timur Tengah itulah, ia tertarik untuk mempelajari Islam.

Islam Telah Membuatnya Menjadi Seseorang yang Lebih Baik dan Membimbingnya untuk Membuat Lingkungan Sebagai Tempat yang Lebih Baik

Hidayah Allah SWT mulai menerangi hatinya. Domenyk pun mulai tertarik untuk mempelajari Islam. “Saya ingin melihat sendiri bagaimana sebenarnya Islam itu dan mengapa Islam sangat penting bagi banyak orang di dunia,” ujarnya kepada Republika. Untuk mengenal Islam, ia pun pergi ke toko buku dan membeli Alquran yang diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris.

Selama tiga hari, Domenyk membaca kitab suci umat Islam itu dengan hati-hati. “Itu merupakan sebuah pengalaman yang luar biasa,” ungkapnya. Ia pun mulai membandingkan isi Alquran dengan Injil. Menurutnya, banyak karakter dan cerita di dalam Alquran yang juga terdapat di dalam Injil.

Namun, menurut Domenyk, ada sederet hal yang tercantum dalam Injil yang tidak bisa dimengerti. Ia pun mencoba untuk mempelajari Islam lebih dalam lagi. Ketika itu, ia mengaku belum serius untuk menjadi seorang Muslim. “Saya memercayai keberadaan Tuhan dan saya rasa itu cukup,” kenangnya.

Domenyk Eades terlahir sebagai seorang Kristiani. Ia mengaku baru mengenal Islam setelah remaja. Ketika masih belia, ia sedikit mengetahui Islam dari beberapa Muslim yang ditemuinya. Namun, mereka pun memiliki pengertian yang sederhana tentang Islam. Ia menyadari banyak kesamaan yang ditemukan antara Kristen dan Islam.

“Keduanya sama-sama memercayai Tuhan dan adanya surga dan neraka,” tuturnya. Meski begitu, ia lebih banyak mengetahui hal-hal negatif tentang Islam dari tayangan televisi yang ditonton dan koran yang dibacanya. Meski tumbuh besar sebagai Kristiani yang cukup taat, Domenyk selalu menghormati orang-orang yang berbeda keyakinan dengannya.

Ia selalu merasa yakin, sangatlah penting bagi seseorang untuk mengikuti sebuah prinsip yang memandu mereka dalam kehidupan. Karena itulah, ia juga sangat meyakini akan keberadaan Tuhan. Domenyk mengetahui bahwa seorang Muslim harus menjalankan perintah agama dan menjalankan ibadah wajib lima kali sehari.

Awalnya, menurut dia, hal itu tampak sangat mengikat dan membatasi. “Seseorang yang berusia 18 tahun tidak suka dibatasi dan diatur,” ucapnya. Meski begitu, ia terus membaca dan mempelajari Islam. Domenyk mulai menyadari bahwa Islam tidaklah bermaksud mempersulit hidup umatnya, tetapi justru sebaliknya.

Perlahan tapi pasti, ia mempelajari Islam dan cara membangun hubungan yang kuat dengan Allah SWT. Ia juga mempelajari shalat lima waktu dan berpuasa yang mengubah seseorang dari dalam dan membuatnya menjadi orang yang lebih baik. Ia mengaku, membutuhkan banyak waktu untuk mengerti dengan benar mengenai pelajaran itu.

Hidayah kian menerangi kalbunya. Domenyk mulai melihat pesan positif yang disampaikan Islam sehingga agama yang disebarkan Nabi Muhammad SAW tersebut tak lagi menjadi agama yang asing baginya. Ia mengaku sangat tertarik dengan Islam karena pesan yang dibawa Alquran sangat jelas dan logis.

Ia sangat menyukai bagaimana Alquran memberikan petunjuk untuk hidup yang baik dan bagaimana Islam memberikan pesan yang sangat jelas tentang kesetaraan di antara seluruh umat manusia. “Saya rasa apabila orang-orang benarbenar mengerti tentang Islam, mereka akan melihat bahwa setiap manusia merupakan ciptaan Tuhan dan itu sangatlah berharga,” paparnya.

Apabila seseorang memiliki sebuah keyakinan, kata Domenyk, mereka akan memperlakukan orang lain dengan hormat, tidak peduli dari mana mereka berasal dan bagaimana mereka terlihat. Ketika mempelajari Alquran dan Islam, Domenyk mengaku, tidak benar-benar berniat ingin menjadi seorang Muslim.

Hingga akhirnya, ia menemukan pesan di dalam Alquran yang merupakan kelanjutan dari pesan yang diajarkan Yesus. “Saya mulai menyadari apabila saya memercayai Allah dan Muhammad sebagai utusan-Nya, itu berarti saya haruslah menjadi seorang Muslim.”

Awalnya, ia merasa ragu dapat mengikuti aturan yang terdapat dalam ajaran Islam. Ia memercayai pesan yang dibawa oleh Islam, tetapi sangat sulit baginya untuk dapat menjalankan shalat lima waktu dan berpuasa di bulan Ramadhan. Untuk dapat shalat tepat waktu pun sangat sulit baginya.

Domenyk juga mengkhawatirkan reaksi yang akan muncul dari teman-teman dan keluarganya apabila ia menjadi seorang Muslim. Karena alasan itulah, ia memerlukan waktu yang cukup lama untuk menjadi seorang Muslim, meski di dalam hatinya ia sudah memercayai satu Tuhan dan Muhammad sebagai utusan-Nya.

Namun, ia belum merasa siap menghadapi hidup baru sebagai Muslim. Hingga pada suatu hari, Domenyk memutuskan untuk menemui beberapa orang Muslim. Ia pergi ke sebuah masjid di dekat tempatnya tinggal. Pengalamannya saat berada di masjid itu telah membuka hatinya.

Kaum Muslim di masjid itu tahu bahwa dia bukanlah seorang Muslim. Namun, mereka menyambutnya dengan sikap ramah dan mengobrol hingga waktu shalat tiba. Saya seorang Anglo-Australia dan saya memberanikan diri ke sana, tuturnya.

Hatinya tergerak ketika melihat gerakan sujud yang dilakukan jamaah dalam shalat. Pemandangan itu meninggalkan kesan yang mendalam baginya. Hati kecilnya mulai berkata, hidup sebagai Muslim bukanlah hal yang mustahil lagi. Saat kuliah, ia bertemu dengan Bukhari Daud, bupati Aceh Besar, yang tengah studi di Australia.

Ia berteman baik dengan Bukhari. Keduanya sering berdiskusi tentang Islam. Bukhari lalu mengundang Domenyk ke rumahnya. Pertemuan itu adalah pengalaman yang menarik. Mereka memperkenalkan saya pada budaya Muslim Indonesia. Di sanalah saya pertama kali mengetahui tentang keramahan Muslim, tuturnya.

Tekadnya untuk memeluk Islam sudah semakin bulat. Di depan Bukhari dan sekelompok Muslim lainnya, Domenyk mengucapkan dua kalimah syahadat dan mengukuhkannya menjadi seorang Muslim di kediaman Bukhari saat studi di Australia.

Islam telah membuat saya menjadi seseorang yang lebih baik dan membimbing saya untuk membuat lingkungan sebagai tempat yang lebih baik, paparnya. Ia pun berhasil meyakinkan keluarganya. Keluarga saya melihat bagaimana Islam memberikan efek positif kepada saya. Hal itu tidak memberikan dampak negatif terhadap hubungan saya dengan keluarga.

Ramadhan Pertama di Indonesia

Ramadhan pertama sebagai Muslim merupakan kenangan yang sangat luar biasa bagi Domenyk Eades. Ia merasa beruntung memiliki banyak sahabat Muslim yang berada di dekatnya. Mereka menghabiskan Ramadhan dengan berbuka puasa bersama dan melaksanakan shalat Tarawih setelahnya.

Ramadhan pertama Domenyk berlangsung di Indonesia pada 1997. Hari itu merupakan pengalaman yang sangat luar biasa, kenang Domenyk. Ia mengaku tidak terlalu sulit untuk membiasakan diri dalam menjalankan ibadah. Domenyk sudah mempelajari bagaimana melaksanakan shalat dan puasa sebelum menjadi seorang Muslim.

Ia menghafal beberapa ayat pendek. Setelah mengucapkan syahadat, tidak terlalu lama baginya membiasakan diri dalam melaksanakan ibadah. Menjadi seorang Muslim membawa banyak perubahan dalam hidup Domenyk. Menurut dia, perubahan itu terjadi dari waktu ke waktu.

Domenyk menjadi seorang Muslim ketika duduk di bangku kuliah. Ia beruntung tinggal di dekat lingkungan Muslim yang kebanyakan berasal dari Indonesia. Tak cuma itu, ia juga bersyukur bisa tinggal di beberapa negara Muslim. Selama beberapa waktu, ia tinggal di Indonesia, terutama di Aceh.

Selama beberapa tahun, ia menetap di negara Arab untuk bekerja dan mempelajari bahasa Arab. Domenyk mempelajari linguistik bahasa Arab di Inggris. Ia menghabiskan bertahun-tahun mempelajari bahasa Arab. Domenyk pun telah menunaikan ibadah haji ke Tanah Suci Makkah pada 2007.

Saat ini ia bekerja sebagai dosen senior pada program studi bahasa Arab di Universitas Salford, Inggris. Saat ini, Domenyk mengajar bahasa Arab kepada mahasiswanya di Inggris. Risetnya seba gai dosen di bidang bahasa dan penerjemahan.

Ia juga sudah menyelesaikan penelitiannya di bidang bahasa di Indonesia. Salah satu buku yang ia terbitkan adalah buku mengenai bahasa Gayo, Aceh. Domenyk juga telah memublikasikan berbagai macam artikel, jurnal, dan buku tentang tata bahasa serta dialek bahasa Arab. Ia juga banyak menerjemahkan buku-buku dari bahasa Arab ke bahasa Inggris. heri ruslan
Redaktur: Mohamad Afif
Reporter:

Dulu JR Farrel Sangat Benci Muslim, Kini Islam adalah Hidupnya

Standar

REPUBLIKA.CO.ID, JR Farrell masih mengingat betul masa kecilnya, bagaimana kedua orang tuanya bertengkar gara-gara uang, situasi kehidupan dan perkara-perkara lain. Tak hilang pula dari kenangannya saat ia mesti hidup di rumah-rumah sosial di sisi selatan Chicago, hampir tanpa apa pun untuk dimakan.

“Dengan keluarga beranggotakan 10 orang, sulit bagi ayah saya untuk menopang hidup sesuai dengan cara yang paling diinginkan,’tuturnya.

Masa muda yang sulit

Ayah Farrell –berdarah campuran Jerman dan Irlandia–adalah pekerja keras tapi juga pemabuk. Meski kerap memukuli ibunya, arrell mengaku masih mencintai ayahnya.

Setiap kali pulang dalam kondisi mabuk dan kesal terhadap sesuatu ia akan mendatangi Farrell dan adik-adinya serta menimpakan semua lewat pukulan hingga tak ada yang bisa dilakukan. Farrell kerap tak bisa berjalan atau bernafas gara-gara siksaan tadi. Begitu pun bila kakak lakinya mengoceh dan jengkel ia pun akan menerima serangan fisik. “Itulah sebagian besar masa kecil saya.” kenang Farrell

Masuk masa remaja, semua yang ada di sekitar Farrell mulai menggoda, teman wanita, minuman, klub malam, obat-obatan dan yang lain. “Tapi entah saya tak bisa, saya melarang diri untuk terlibat dalam semua tadi. Saya hanya merasa itu tidak benar.”

Salah satu adiknya ternyata adalah pengedar narkoba terbesar di Chicago. Hampir setiap hari ia membawa jenis obat-obatan ke rumah untuk dijual eceran di lingkungan sekitar. Si adik paham betul pandangan Farrell.

Begitu adiknya tak berada di rumah, Farrell membuang semua obat-obatan senilai 1000 dolar ke toilet dan mengguyurnya. Saat pulang dan mengetahui itu, adiknya, tutur Farrell, sangat bernafsu membunuhnya. “Ia mungkin akan membunuh saya bila memiliki kesempatan. Tentu saya dibela orangtua karena saya lebih tua dan saya dianggap harus mengajarinya untuk lebih baik.

Pencarian Pengetahuan

Semua peristiwa dalam masa kecil hingga remaja membuat Farrell menyadari betapa rapuh kehidupan. “Saya tak ingin mati sebagai idiot, jadi saya mulai belajar apa pun dan semuanya.” tutur Farrell.

“Satu hal yang patut diketahui tentang keluarga saya, mereka sangat kompetitif terhadap satu dan yang lain. Begitu mereka melihat salah satu anggota lebih maju maka mereka ingin menghentikan anda dari jalur dan membuat anda tak bisa melangkah lebih maju,” ujarnya.

Mengetahui antusias Farrell, orangtuanya cemas. Mereka mengkhawtirkan ia akan tercuci otak atau mengikuti aliran atau mengkultuskan sesorang. Mereka benar. Pada 1994, Farrell menjadi Nazi. Ia mengaku saat itu menyukai fakta bahwa Hitler memiliki kendali atas ribuan orang. “Menjadi Nazi, membuat saya merasa penting, menjadi seseorang.” Untuk satu ini, ayahnya tak menentang, justru senang dengan seluruh pemikiran Farrell.

Ada alasan mengapa ayah Farrell suka dengan gagasan Nazi. Sedikit ke belakang pada 1960-an, ketika Martin Luther King Jr. mulai membakar semangat orang-orang dengan ‘mimpinya’, ayah Farrell menrencanakan menyingkirkan semua warga kulit hitam dari area pertanian Chicago.

Satu fakta, ketika Martin Luther King Jr bersama pendukungnya turun ke jalan di sisi barat Chicago, ayahnya telah mengorganisir massa. Geng itu tak hanya membuat kulit hitam keluar kota, tetapi juga memicu perang antara kulit putih dan kulit hitam. Hari itu pula, ayah Farrell menghantam hidung Martin Luther King dengan batu bata, dan hingga kini, tutur Farrell, ia selalu berkoar-koar tentang itu.

Lama setelah itu, tahun 1997, keluarganya beserta Charles Mason memulai lagi misi rahasia. Farrell berda di sana ketika mereka mengorganisir serangan terhadap bocah kulit hitam berusia 11 tahun yang tak sengaja berjalan di lingkungan kulit putih Chicago. Mereka, tutur Farrel, bisa membunuh si bocah setelah menganiayanya habis-habisan, namun memilih meninggalkan ia berdarah-darah sebagai tanda peringatan. Setelah menyaksikan itu, Farrell merasa gagasan Nazi dan semua berbau ras tak lagi cocok dengannya.

Titik Balik

Pada 1995, Farrell bertemu dengan wanita pertama yang membuat ia jatuh cinta. Meski ia memiliki kesempatan untuk berbuat apa pun dengan gadis tersebut, lagi-lagi ia melarang dirinya. “Saya tidak bisa, saya tak membolehkan diri saya untuk memiliki hubungan intim dengan seseorang yang tidak saya nikahi.” ujarnya.

Beberapa bulan setelah itu ia melamar kekasihnya. Mereka bertunangan tanpa sekalipun berhubungan seksual, sesuatu yang tidak biasa di kalangan barat. “Kami berdua paham bahwa akan banyak masalah bila kami lakukan itu,” tutur Farrell.

Saat bersama kekasihnya ia mulai lebih fokus. Farrell terus belajar dan belajar. “Saat itu saya merasa ada sesuati yang hilang dan mulai menyadari kehidupan dan tujuan saya hidup, hanya saja saya tak bisa menunjuk pasti,” tutur Farrell.

Semakin ia membaca, semakin besar pula upaya orang tuanya untuk menariknya mundur, seperti yang ia tuturkan soal keluarganya yang kompetitif. Orangtua Farrell mulai melakukan serangan mental. “Mereka mengatakan betapa buruknya saya waktu kecil dan bagaimana saya tidak berterima kasih sebagai anak atas makanan dan tempat berteduh yang mereka berikan untuk saya,” tutur Farrell.

“Orang tua saya tak pernah lulus SMA. Mereka hanya sampai tingkat 8 lalu putus sekolah saat tingkat 9. Karena itu pendidikan orang tua saya terbatas. Semua yang mereka tahu hanyalah berdasar apa yang mereka lihat di TV dan perilaku orang-orang,” kata Farrell.

Namun bukan berarti Farrell tak menghargai orangtuannya. “Saya memiliki rasa terima kasih besar terhadap apa yang mereka lakukan. Saya menghargai disiplin mereka,” ungkap Farrell. Atas didikan mereka pula ia sudah mendapat pekerjaan pertama pada usia 12 tahun. Pada usia 13 ia sudah bekerja penuh waktu dengan pendapatan setara yang dihasilkan orangtuanya.

Pada usia 16 tahun ia telah memiliki apartemen pertamanya. Ia memasak, membersihkan rumah dan mencuci pakaian, berbelanja sendiri. Farrell tengah bersiap menikah. Saat itu ia mengikuti pandangan orang tuanya yang menilai seseorang berdasar perbuatannya “Saya sepakat dengan orang tua saya, hingga kini,” akunya.

“Namun itu pula yang membuat saya membenci Muslim dan Islam. Saya sungguh benar-benar membenci Muslim dalam tingkat yang tak anda percayai,” ujarnya. Karena media? “Ya itu bagian dari propaganda, namun sebagian besar saya menilai itu karena ulah Muslim. Mereka kadang adalah pihak yang merusak reputasi Islam sehingga membenci kami. Itu menyedihkan tapi itu faktanya,” ujar Farrell yang telah memeluk Islam.

Hadiah Paling Berharga

Pada 1997, tunangan Farrell memberinya Al Qur’an sebagai hadiah. “Semata-mata karena saya begitu suka membaca,” tuturnya. “Sekedar memberitahu bagaimana dulu saya membenci Muslim, begitu ia memberi Al Qur’an kami bertengkar hebat dan kami putus hingga beberapa saat,” kenang Farrell.

Akhirnya suatu malam ia mengambil kitab suci tersebut dan mulai membacanya. “Saya masih ingat betul saat itu, rumah begitu bersih, udara terasa enak dan nyaman, sorot lampu sungguh pas untuk membaca. Itu Alquran versi terjemahan Abdullah Yusuf Ali,” tutur Farrell.

Ia membaca bagian awalan, tiga halaman pertama, dan, “Saya mulai menangis seperti bayi. Saya menangis dan menangis. Saya tak bisa menahan diri. Seketika saya tahu bahwa inilah yang saya cari selama lini. Saya seperti ingin memukuli diri sendiri, mengapa tak segera menemukan sejak dulu,” ujar Farrell.

Ia merasa tersihir oleh bait-bait Al Qur’an. “Ini bukan Islam yang saya kenal. Ini bukanlah Arab, bukan sesuatu yang buruk yang saya pikir sebelumnya,” kata Farrel. Ia merasa hidupnya dibungkus sepenuhnya dalam halaman-halaman tadi. Farrell menjumpai seperti membaca jiwanya dalam Alqur’an. “Sungguh indah, tetapi juga membuat saya menyesali diri. Setelah itu saya kembali menjalin hubungan dengan tunangan saya dan mendiskusikan banya hal secara dewasa,” ujarnya. Tak lama setelah itu, Farrel dan tunangannya memeluk Islam dan beritikad untuk hidup sebagai Muslim, meski itu berarti tinggal terpisah.

Begitu orangtua Farrel mengetahui itu, pecahlah kemarahan mereka. “Ayah saya mengancam membunuh saya. Ia berkata, ‘Kamu lahir Katholik, jadi tolong Tuhan, saya akan memastikan kamu mati sebagai Katholik,'”. Reaksi ibu Farrell pun setali tiga uang.

Saat itu Farrell berhasrat besar untuk kuliah. “Saya ingin menempuh pendidikan formal. Saya dapat pekerjaan dan membayar semua kebutuhan untuk melanjutkan pendidikan saya hingga ke perguruan tinggi,” tuturnya.

Saat itu pula ia didepak keluar dari rumah dan Farrell pun tinggal di jalan selama 6 bulan. “Saya menyantap makanan dari tempat sampah, tidur di luar saat malam-malam terdingin, waktu itu tahun 1999,” tutur Farrell.

Namun itu semua tak menyurutkan semangat Farrell. “Saya berjalan bermil-mil untuk bisa bersama Muslim. Saya dikejar keluar dari lingkungan tertentu oleh polisi hanya gara-gara masuk ke kawasan kulit hitam demi mengikuti shalat Jumat. Saya dilempari batu, diludahi, dikasari. Saya hanya ingin bisa bersama Muslim lain,”

Hingga suatu hari ia bertemu seorang teman yang kemudian membantunya. Si teman berkata, bila Farrell bisa membangun sebuah masjid dalam toko knalpotnya, maka ia bisa tinggal di sana hingga menemukan tempat lebih layak. Farrell pun setuju.

Toko itu memiliki ruang di tingkat dua, sekitar 186 meter persegi yang dipakai untuk gudang. Setiap hari Farrell menghabiskan waktu berjam-jam untuk membuang sampah dan memindahkan pasokan inventaris. Dalam satu bulan ia telah menggarap setengah ruangan, membangun dinding, menambah jendela, memasang satu pintu, menggelar karpet, mengecat dan akhirnya membuka masjid toko knalpot pertama di Kota Chicago. “Saya belajar pertukangan dari paman saya. Itu adalah pekerjaan penuh waktu yang pertama.” tuturnya.

Sekitar 6 bulan berikut ia berhasil mendapat satu pekerjaan lebih bagus dan pindah bersama dua teman ke apartemen baru. Tunangannya tak ada lagi dalam adegan hidupnya. “Kami telah setuju untuk hidup sebagai Muslim, bukan seperti orang bodoh. Saya lebih mencintai dia dari sebelumya, namun menjadi Muslim jauh lebih penting dari pada bersama seseorang dan kami belum menikah,” ungkap Farrell.

Pada 1999 ia menjadi Presiden Asosiasi Mahasiswa Muslim di kampusnya. Setiap hari ia menghadiri majelis taklim dan sering mendatangai seminar. Ia mulai memiliki seseorang yang menjadi tempat bertanya dan membangun hubungan dengan teman-teman Muslim lain.

Pergi Haji

Pada tahun 2000 Farrell melaksanakan ibadah Haji. Sebuah pengalaman yang tak pernah ia lupakan. Ia mengunjungi Madinah dan lingkungan di sekitarnya. “Satu hal yang saya sadari Haji adalah kebenaran tentang Tuhan dan sejarah Islam. Selama ini saya mungkin hanya bisa mengetahui dari buku mengenai tempat dan orang-orang, di sana saya melihat dengan mata sendiri keajaiban sejarah Islam. Saya seperti hidup dalam sejarah. Saya merasa Hadis-hadis itu bangkit dan menjelma. Saya seperti menyaksikan sahabat di atas puncak bukit. Saya mencium bau perang Badar. Saya menghirup udara yang dulu juga dihirup Rasul,” tutur Farrell.

Meski ia sendiri tanpa istri dan keluarga, Farrell menyadari Islam adalah kehidupan. “Bukan hanya cara hidup tapi kehidupan itu sendiri. Saya memahami Islam bukan sekedar agama, karena agama dapat dibiaskan. Saya memahami bahwa Muslim bukanlah Islam dan Islam tak bisa dinilai karena aksi Muslim. Muslimlah yang dihakimi oleh nilai-nilai Islam.

Farrell selalu bermimpi bekerja di sektor bantuan yang meringankan dan menolong beban orang lain. Kini Farrell bekerja untuk Global Relief Fondation dan telah bergabung selama setahun

Dalam sebuah essay, Farrell menulis, “Sebanyak yang bisa saya tuturkan, tak ada yang dapat memaparkan isi terdalam hati saya. Saya hanya menyebut sedikit kendala yang saya hadapi. Saya tahu banyak orang di luar sana mengalami kesulitan lebih banyak, mungkin lebih buruk lagi. Tujuan saya berbagi adalah untuk mengatakan bahwa saya memahami kesulitan yang dialami mereka di sana, Wassalamu’alaikum”

Redaktur: Ajeng Ritzki Pitakasari
Sumber: Onislam.